Persepsi Mahasiswa terhadap Integrasi Augmented Reality (AR) di Smartphone dan Laptop dalam Pembelajaran Hybrid

Persepsi Mahasiswa terhadap Integrasi Augmented Reality (AR) di Smartphone dan Laptop dalam Pembelajaran Hybrid


Augmented Reality atau yang biasa disingkat AR, mungkin udah nggak asing lagi di telinga kita. Teknologi ini bisa dibilang kayak “jembatan” antara dunia nyata dan dunia digital. Dengan bantuan perangkat seperti smartphone atau laptop, AR memungkinkan kita melihat objek digital (seperti gambar 3D, animasi, teks interaktif) yang ditumpangkan ke dunia nyata secara real-time. Contoh paling simpel? Filter Instagram atau game Pokémon GO. Tapi tenang, AR nggak cuma soal hiburan—teknologi ini juga punya potensi luar biasa dalam dunia pendidikan, lho.

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan AR melesat cepat. Banyak startup dan perusahaan teknologi yang berlomba-lomba menciptakan konten AR edukatif untuk berbagai jenjang pendidikan. Dari pelajaran biologi, teknik, sejarah, sampai seni, semua bisa divisualisasikan dengan lebih interaktif dan menyenangkan. Bahkan, sekarang udah banyak universitas yang mulai melirik penggunaan AR buat mendukung proses belajar-mengajar, khususnya dalam pembelajaran hybrid yang menuntut fleksibilitas.

AR dalam pendidikan bukan hanya sekadar tren, tapi solusi untuk menyampaikan materi kompleks dengan cara yang lebih visual dan mudah dipahami. Ini jadi angin segar bagi mahasiswa yang lebih nyaman dengan pendekatan belajar visual dan interaktif. Teknologi ini secara perlahan mengubah cara kita belajar, dari yang dulunya hanya membaca buku teks, sekarang bisa langsung melihat simulasi nyata dari materi tersebut di layar smartphone atau laptop kita.

Konsep Pembelajaran Hybrid di Perguruan Tinggi

Pembelajaran hybrid atau yang sering juga disebut blended learning adalah model pendidikan yang menggabungkan metode belajar tatap muka (offline) dengan pembelajaran daring (online). Konsep ini mulai naik daun sejak pandemi COVID-19 melanda dan memaksa seluruh aktivitas pendidikan dilakukan secara daring. Namun seiring berjalannya waktu, sistem hybrid tetap dipertahankan karena dianggap fleksibel dan bisa menjangkau lebih banyak mahasiswa dengan latar belakang berbeda.

Di lingkungan perguruan tinggi, hybrid learning jadi solusi ideal buat mengakomodasi berbagai kebutuhan akademik. Mahasiswa bisa hadir di kelas fisik saat diperlukan, sekaligus tetap bisa mengakses materi atau diskusi lewat platform digital saat tidak memungkinkan untuk hadir secara langsung. Dengan kata lain, sistem ini memberikan kebebasan, tapi juga menuntut kemandirian belajar yang tinggi.

Nah, di sinilah AR masuk sebagai pelengkap dari sistem pembelajaran hybrid. Ketika mahasiswa belajar dari rumah, AR bisa menghadirkan pengalaman interaktif yang sebelumnya hanya bisa dirasakan di laboratorium atau kelas praktikum. Misalnya, dalam mata kuliah anatomi, mahasiswa bisa “membedah” tubuh manusia virtual dari layar smartphone mereka. Atau dalam pelajaran arsitektur, mereka bisa melihat model bangunan 3D dari segala sudut hanya dengan kamera HP.

Dengan integrasi AR, pembelajaran hybrid nggak lagi sekadar soal video conference atau modul PDF. Ia naik level jadi pengalaman belajar yang hidup, dinamis, dan bisa disesuaikan dengan gaya belajar masing-masing mahasiswa.

Pentingnya Memahami Persepsi Mahasiswa

Nah, kenapa sih persepsi mahasiswa itu penting dalam topik ini? Jawabannya sederhana: mereka adalah pengguna utama teknologi pembelajaran ini. Apa gunanya teknologi secanggih apapun kalau ternyata mahasiswa nggak nyaman, kesulitan, atau bahkan nggak ngerti cara makainya?

Persepsi mahasiswa menentukan sukses atau tidaknya implementasi AR dalam pembelajaran hybrid. Kalau mereka merasa AR membingungkan, ribet, atau nggak efektif, maka kemungkinan besar teknologi ini akan ditinggalkan. Sebaliknya, kalau mahasiswa merasa terbantu, lebih semangat belajar, dan paham materi berkat AR—itu artinya kita berada di jalur yang benar.

Makanya, artikel ini hadir buat mengeksplorasi pandangan mahasiswa secara lebih mendalam. Kita ingin tahu, gimana sih mereka menilai integrasi AR di dua perangkat yang paling umum digunakan: smartphone dan laptop. Apakah smartphone lebih praktis? Atau laptop lebih nyaman buat eksplorasi visual? Apa kendala yang mereka hadapi? Konten seperti apa yang menurut mereka paling menarik dan berguna?

Semua pertanyaan itu akan kita bahas secara rinci di bagian-bagian selanjutnya. Tujuannya jelas: supaya pengembangan dan implementasi AR ke depannya bisa lebih tepat sasaran, sesuai kebutuhan mahasiswa, dan benar-benar meningkatkan kualitas pembelajaran hybrid.

Potensi Augmented Reality dalam Pembelajaran Hybrid

Manfaat AR sebagai Alat Visualisasi Interaktif

Kalau kita ngomongin tentang keunggulan AR dalam pendidikan, salah satu yang paling menonjol adalah kemampuannya menyajikan materi secara visual dan interaktif. Ini penting banget, apalagi buat mahasiswa yang merasa kesulitan memahami teori yang sifatnya abstrak atau rumit.

Bayangin kamu lagi belajar tentang struktur atom atau sistem peredaran darah manusia. Daripada cuma baca teks atau lihat gambar 2D, AR bisa menampilkan simulasi 3D yang bisa kamu putar, perbesar, dan eksplorasi langsung lewat layar smartphone atau laptop. Serasa pegang objeknya beneran, padahal itu cuma muncul di layar!

Beberapa contoh materi kuliah yang cocok banget dikemas dengan AR antara lain:

  • Biologi & Kedokteran: visualisasi anatomi tubuh manusia, simulasi proses biologis.

  • Teknik & Arsitektur: model bangunan, desain teknik, simulasi mesin.

  • Geografi: peta interaktif dengan topografi 3D.

  • Fisika & Kimia: percobaan laboratorium virtual, interaksi molekul.

  • Sejarah & Arkeologi: rekonstruksi tempat bersejarah, artefak digital.

Selain itu, AR juga memungkinkan mahasiswa belajar dengan ritme sendiri. Mereka bisa mengulang materi yang sama berkali-kali tanpa batasan waktu, beda dengan penjelasan dosen di kelas yang sifatnya sekali lewat. Ini sangat membantu buat mahasiswa yang perlu waktu lebih buat memahami sesuatu.

Secara nggak langsung, AR juga menumbuhkan rasa ingin tahu dan minat belajar yang lebih tinggi. Belajar jadi nggak terasa seperti beban, tapi lebih mirip seperti eksplorasi atau petualangan visual. Dan saat mahasiswa tertarik dan terlibat secara aktif, hasil belajarnya pun cenderung lebih bagus.

Meningkatkan Keterlibatan dan Motivasi Belajar

Salah satu tantangan terbesar dalam sistem pembelajaran hybrid adalah menjaga keterlibatan mahasiswa. Tanpa interaksi langsung yang intens seperti di ruang kelas, mahasiswa sering kali merasa terputus secara emosional dari materi yang dipelajari. Nah, di sinilah peran Augmented Reality (AR) menjadi sangat vital. Teknologi ini bisa mengubah pengalaman belajar yang awalnya monoton menjadi sesuatu yang menarik, bahkan menyenangkan.

Banyak mahasiswa mengaku lebih termotivasi belajar ketika materi disampaikan melalui media visual yang interaktif. Misalnya, dibanding hanya membaca teori hukum Newton dari buku, mahasiswa bisa melihat simulasi gaya gravitasi langsung melalui AR. Atau ketika belajar sejarah, mereka bisa “mengunjungi” tempat-tempat bersejarah melalui proyeksi AR tanpa harus meninggalkan kursi mereka. Pengalaman seperti ini bukan cuma membantu mereka memahami konsep lebih baik, tapi juga membangkitkan rasa ingin tahu yang lebih dalam.

Beberapa kampus bahkan sudah membuktikan bahwa penerapan AR bisa meningkatkan partisipasi mahasiswa secara signifikan. Sebagai contoh, di salah satu universitas swasta di Jakarta, penerapan AR dalam mata kuliah desain grafis membuat tingkat kehadiran mahasiswa meningkat hingga 30%. Mahasiswa jadi lebih antusias ikut kelas karena merasa mendapatkan pengalaman belajar yang berbeda dan relevan dengan teknologi masa kini.

Faktor visualisasi dan interaktivitas inilah yang membuat AR dianggap sangat efektif dalam membangun keterlibatan belajar. Ketika mahasiswa terlibat secara aktif—bukan cuma pasif menerima informasi—maka proses belajarnya akan lebih bermakna dan mudah diingat. Ini tentu jadi keuntungan besar, baik bagi mahasiswa maupun dosen yang ingin memastikan materi benar-benar dipahami.

Keterlibatan dan motivasi ini juga penting untuk menjaga semangat belajar mahasiswa yang sering kali turun saat belajar mandiri di rumah. Dengan hadirnya AR, mereka nggak cuma belajar, tapi juga "bermain sambil belajar" dalam arti positif. Dan seperti yang kita tahu, sesuatu yang menyenangkan pasti lebih mudah untuk dilakukan secara konsisten, termasuk belajar.

Kolaborasi Virtual yang Efektif melalui AR

Salah satu aspek menarik dari AR yang sering luput dibahas adalah kemampuannya memfasilitasi kolaborasi antar mahasiswa, baik secara online maupun offline. Dalam sistem hybrid yang mengandalkan konektivitas digital, fitur kolaboratif dari AR bisa menjembatani interaksi mahasiswa yang belajar dari lokasi berbeda.

Dengan AR, mahasiswa bisa bekerja sama dalam satu ruang virtual meski mereka sedang tidak berada di tempat yang sama. Misalnya, dalam proyek desain arsitektur, sekelompok mahasiswa bisa mengakses model 3D dari bangunan yang sama, memberi catatan, mengedit bentuk, atau sekadar berdiskusi melalui avatar digital yang muncul dalam ruang AR. Ini menciptakan dinamika kerja tim yang lebih hidup dibanding hanya mengandalkan Google Docs atau Zoom.

Beberapa platform yang sudah mendukung fitur ini antara lain Zappar, Vuforia Chalk, dan Assemblr Edu. Aplikasi-aplikasi ini memungkinkan kolaborasi visual secara real-time, dan makin hari makin banyak digunakan oleh institusi pendidikan di seluruh dunia. Pengalaman seperti ini jelas jauh lebih interaktif dan immersive dibanding komunikasi biasa lewat teks atau video call.

Dari sisi mahasiswa, fitur kolaboratif ini membuka peluang untuk berlatih kerja tim lintas daerah bahkan lintas negara. Mahasiswa belajar cara berinteraksi dalam konteks digital, mengatur pembagian tugas, dan menyelesaikan proyek bersama dengan bantuan teknologi canggih. Ini penting banget, mengingat keterampilan kolaboratif digital akan sangat dibutuhkan di dunia kerja masa depan.

Menariknya, AR juga bisa memfasilitasi diskusi tatap muka dengan cara baru. Dalam kelas, mahasiswa bisa berdiri mengelilingi satu objek AR yang ditampilkan melalui proyektor atau layar besar. Mereka bisa berdiskusi langsung sambil menunjuk elemen yang relevan di objek tersebut. Jadi meskipun teknologinya digital, interaksinya tetap terasa nyata dan humanis.

Singkatnya, AR bukan cuma soal visualisasi. Ia adalah jembatan menuju pembelajaran kolaboratif yang lebih efektif, interaktif, dan relevan dengan kebutuhan generasi digital native seperti mahasiswa masa kini.

Persepsi Mahasiswa terhadap Penggunaan AR di Smartphone

Kemudahan Penggunaan dan Aksesibilitas

Kalau ngomongin tentang integrasi teknologi dalam dunia pendidikan, nggak bisa lepas dari perangkat yang paling sering dipakai mahasiswa: smartphone. Perangkat ini udah jadi "alat tempur" sehari-hari—praktis, ringan, dan bisa dibawa ke mana-mana. Nggak heran kalau banyak mahasiswa yang merasa lebih nyaman mengakses konten AR lewat smartphone dibanding perangkat lain.

Berdasarkan berbagai wawancara dan survei kecil-kecilan yang dilakukan di beberapa kampus, mayoritas mahasiswa bilang kalau AR di smartphone itu mudah digunakan. Aplikasi AR biasanya dirancang user-friendly, jadi nggak ribet dan langsung bisa dipakai tanpa harus baca manual panjang. Cukup buka aplikasi, arahkan kamera ke marker atau trigger, dan konten AR langsung muncul di layar. Sesimpel itu.

Selain itu, aksesibilitasnya juga jadi nilai plus. Hampir semua mahasiswa punya smartphone yang mendukung AR (minimal Android versi terbaru atau iPhone seri terkini), jadi mereka bisa langsung coba tanpa perlu perangkat tambahan. Ini bikin konten AR jadi lebih inklusif, bisa dijangkau oleh semua kalangan tanpa harus punya laptop mahal atau headset VR canggih.

Namun, bukan berarti semua mulus-mulus aja. Tantangan teknis tetap ada. Beberapa mahasiswa mengeluhkan ukuran file aplikasi AR yang besar dan memakan banyak memori. Belum lagi masalah baterai cepat habis atau HP jadi panas saat menjalankan aplikasi AR. Di daerah dengan koneksi internet yang kurang stabil, pengalaman pakai AR juga sering terhambat.

Tapi meskipun ada tantangan, kebanyakan mahasiswa tetap antusias menggunakan AR via smartphone karena kemudahannya. Bahkan ada yang bilang, “Daripada buka buku tebal, mending buka AR. Lebih cepet nyambung dan lebih menarik.” Ini menunjukkan bahwa meskipun sederhana, teknologi AR di smartphone punya potensi besar sebagai alat bantu belajar yang menyenangkan dan efektif.

Efektivitas Smartphone dalam Mendukung Pembelajaran AR

Kalau kita bahas dari sisi efektivitas, smartphone sebagai media AR punya kelebihan tersendiri. Meskipun layarnya lebih kecil dibanding laptop, tapi kemampuan smartphone untuk menyajikan pengalaman belajar yang immersive tetap nggak kalah. Apalagi sekarang banyak smartphone yang udah punya spesifikasi tinggi—kamera tajam, RAM besar, dan sensor canggih—semua itu mendukung pengalaman AR yang lancar dan menarik.

Dari hasil diskusi kelompok dan polling informal di kalangan mahasiswa, banyak yang menilai bahwa penggunaan AR lewat smartphone cukup efektif untuk mata kuliah yang sifatnya visual. Misalnya seperti arsitektur, teknik, anatomi, atau geografi. Dalam konteks ini, AR di smartphone membantu mahasiswa memahami struktur, proses, atau konsep visual tanpa harus hadir di lab.

Tapi, efektivitas ini sangat tergantung pada beberapa faktor. Pertama, kualitas konten AR-nya sendiri—kalau tampilannya jelek, nggak interaktif, atau malah error, ya otomatis motivasi belajar jadi turun. Kedua, dukungan perangkat dan jaringan. Smartphone dengan spesifikasi rendah atau sinyal buruk jelas bikin pengalaman belajar nggak maksimal. Ketiga, penggunaan yang berkelanjutan dan terintegrasi dalam sistem pembelajaran kampus, bukan cuma jadi gimmick sesaat.

Meski demikian, banyak mahasiswa justru merasa AR di smartphone lebih fleksibel. Mereka bisa belajar sambil tiduran, di luar kampus, atau kapan pun waktu luang. Ini sangat mendukung sistem pembelajaran hybrid yang mengandalkan self-learning dan kebebasan dalam mengatur waktu belajar.

Secara keseluruhan, mahasiswa menganggap smartphone adalah media AR yang paling "dekat" dengan kehidupan mereka. Dan selama kontennya dirancang dengan baik, serta kampus memberikan panduan penggunaan yang jelas, maka pembelajaran dengan AR di smartphone bisa jadi senjata ampuh buat ningkatin pemahaman dan minat belajar.

Preferensi Mahasiswa terhadap Konten AR di Smartphone

Kalau bicara soal selera dan preferensi mahasiswa, jenis konten AR yang mereka sukai di smartphone sangat beragam—tapi semuanya punya satu benang merah: harus praktis, visual, dan menarik secara tampilan.

Mayoritas mahasiswa mengaku suka konten AR yang menyajikan objek 3D interaktif, seperti model anatomi tubuh, struktur bangunan, atau peta topografi yang bisa digerakkan dan diperbesar. Mereka juga menyukai simulasi proses, seperti alur kerja mesin, reaksi kimia, atau peredaran darah. Semua yang bisa divisualkan secara dinamis pasti jadi favorit.

Di sisi lain, ada juga mahasiswa yang menyukai konten berbasis kuis interaktif atau mini games edukatif berbasis AR. Bentuknya bisa macam-macam: mencari objek tersembunyi dalam gambar, memecahkan puzzle berbasis visual, atau menjawab pertanyaan yang muncul dari suatu objek AR. Model seperti ini dianggap lebih engaging dibanding hanya menonton video atau membaca slide.

Namun, banyak juga mahasiswa yang memberi masukan penting—mereka butuh konten AR yang tidak hanya keren secara visual, tapi juga relevan dengan silabus kuliah. Artinya, konten harus bisa diintegrasikan langsung dengan materi yang sedang dipelajari, bukan hanya jadi hiburan semata. Mereka ingin ada learning outcome yang jelas dari setiap interaksi dengan AR.

Selain itu, mahasiswa juga berharap ada opsi untuk mengunduh konten AR secara offline, agar bisa tetap belajar meski tidak ada koneksi internet. Ini penting terutama bagi mereka yang tinggal di daerah dengan sinyal kurang stabil.

Kesimpulannya, mahasiswa sangat terbuka dan antusias terhadap konten AR di smartphone. Tapi mereka juga kritis—mereka ingin konten yang interaktif, menyenangkan, relevan dengan materi kuliah, dan bisa diakses kapan saja. Harapan ini seharusnya bisa menjadi masukan berharga bagi pengembang konten dan institusi pendidikan.

Persepsi Mahasiswa terhadap Penggunaan AR di Laptop

1. Kelebihan Laptop sebagai Media AR dalam Pendidikan

Meski smartphone jadi pilihan utama banyak mahasiswa untuk mengakses AR karena kepraktisannya, bukan berarti laptop kalah bersaing. Faktanya, banyak mahasiswa yang justru lebih memilih menggunakan laptop untuk belajar dengan AR dalam konteks tertentu. Kenapa? Karena laptop punya keunggulan yang nggak bisa didapat dari smartphone.

Yang pertama, tentu saja layar yang lebih besar. Ini penting banget buat konten AR yang detail atau kompleks. Misalnya, saat mahasiswa belajar tentang rangkaian elektronik, arsitektur bangunan, atau anatomi tubuh manusia secara mendalam—layar besar bikin visualisasi lebih jelas dan nyaman di mata. Mereka nggak perlu capek zoom-in zoom-out seperti di smartphone.

Kedua, performa laptop yang lebih kuat dibandingkan smartphone, terutama dalam hal grafis dan pemrosesan. Aplikasi AR yang berat atau butuh rendering real-time bisa berjalan lebih mulus di laptop dengan spesifikasi yang pas. Ini bikin pengalaman belajar lebih stabil, nggak tersendat atau lag, yang kadang bikin frustrasi saat pakai HP dengan RAM terbatas.

Ketiga, fitur multitasking di laptop lebih mendukung proses belajar. Mahasiswa bisa buka aplikasi AR sambil mencatat di Microsoft Word, atau diskusi bareng teman lewat Zoom. Semua bisa dilakukan dalam satu layar besar tanpa harus bolak-balik aplikasi seperti di smartphone.

Beberapa mahasiswa juga bilang bahwa mereka merasa lebih “serius” saat belajar pakai laptop. Karena setting-nya memang terasa lebih akademik, beda dengan smartphone yang kadang lebih banyak dipakai buat hiburan. Jadi secara psikologis, belajar dengan laptop lebih kondusif dan minim gangguan.

Namun, preferensi ini juga tergantung konteks. Mahasiswa biasanya lebih memilih laptop saat mengerjakan tugas besar, kerja kelompok, atau saat butuh eksplorasi mendalam. Tapi untuk belajar ringan atau akses cepat, smartphone tetap jadi pilihan utama. Intinya, masing-masing perangkat punya kelebihan tersendiri—dan banyak mahasiswa cukup fleksibel untuk menyesuaikan dengan kebutuhan belajar mereka.

2. Tantangan Teknis Penggunaan AR melalui Laptop

Walaupun punya banyak kelebihan, penggunaan AR di laptop juga nggak lepas dari berbagai tantangan, terutama dari sisi teknis. Nggak semua laptop mahasiswa mendukung fitur AR dengan baik. Banyak yang masih pakai laptop spek menengah ke bawah yang kesulitan menjalankan aplikasi AR, terutama yang berbasis grafik tinggi dan real-time rendering.

Masalah umum lainnya adalah tidak semua laptop dilengkapi kamera dan sensor yang memadai untuk AR. Berbeda dengan smartphone yang sudah built-in dengan kamera canggih dan gyroscope, banyak laptop—terutama seri lama—yang nggak punya fitur ini. Akibatnya, pengalaman AR jadi terbatas atau bahkan nggak bisa dijalankan sama sekali.

Selain itu, beberapa mahasiswa mengeluhkan instalasi aplikasi AR yang rumit di laptop. Banyak software AR untuk PC memerlukan driver tambahan, setting grafis khusus, atau bahkan aktivasi lisensi yang bikin ribet. Ini tentu jadi hambatan, apalagi buat mahasiswa yang nggak terbiasa utak-atik perangkat.

Masalah lainnya adalah portabilitas. AR di laptop susah dibawa-bawa dan harus dijalankan di tempat tertentu. Beda sama smartphone yang bisa langsung digunakan di mana saja. Ini bikin AR di laptop jadi kurang fleksibel, terutama buat mahasiswa yang sering belajar sambil mobile atau berpindah tempat.

Terakhir, dukungan teknis dari kampus sering kali kurang memadai. Mahasiswa bingung harus bertanya ke siapa saat ada error, atau nggak tahu di mana bisa download konten AR yang kompatibel. Hal-hal seperti ini bikin mahasiswa enggan mencoba AR di laptop karena merasa terlalu merepotkan.

Karena itu, perlu ada dukungan sistem yang lebih baik dari institusi pendidikan. Kampus bisa menyediakan laptop dengan spesifikasi standar AR di laboratorium, memberikan tutorial penggunaan, atau menyediakan software yang sudah terinstal. Dengan begitu, tantangan teknis bisa diatasi dan pemanfaatan AR lewat laptop bisa lebih optimal.

3. Konten Pembelajaran AR yang Cocok untuk Laptop

Setiap perangkat punya karakteristiknya sendiri. Nah, untuk AR di laptop, mahasiswa cenderung memilih konten yang kompleks, detail, dan butuh eksplorasi mendalam. Mereka bilang, kalau cuma sekadar visualisasi objek kecil atau kuis ringan, mending pakai smartphone aja. Tapi kalau kontennya butuh analisis serius atau presentasi, laptop adalah pilihan utama.

Beberapa jenis konten yang dianggap cocok untuk laptop antara lain:

  • Simulasi laboratorium atau eksperimen virtual, terutama untuk jurusan teknik, kimia, atau biologi.

  • Desain grafis atau arsitektur 3D, di mana mahasiswa bisa memutar, mengukur, dan membedah objek dari berbagai sudut.

  • Rekonstruksi sejarah atau arkeologi dengan elemen narasi dan visual yang kompleks.

  • Data visualization dalam bentuk AR, untuk mahasiswa jurusan ekonomi atau statistika yang ingin melihat grafik atau tren dalam bentuk interaktif.

Mahasiswa juga berharap konten AR di laptop punya fitur catatan dan pelaporan langsung. Jadi setelah menjelajahi materi, mereka bisa langsung menyimpan hasil pengamatan, export laporan, atau bahkan mengerjakan tugas langsung di platform yang sama.

Selain itu, mereka memberi saran agar konten AR di laptop bisa diakses lewat web browser, tanpa harus instal software tambahan. Ini akan mempermudah penggunaan dan mengurangi hambatan teknis yang selama ini jadi masalah utama.

Singkatnya, mahasiswa ingin konten AR yang serius tapi tetap menarik, sesuai dengan kebutuhan akademik yang kompleks. Mereka butuh alat bantu belajar yang bukan cuma keren secara visual, tapi juga mendalam secara substansi. Dan untuk kebutuhan itu, laptop memang jadi perangkat yang lebih pas dibanding smartphone.

Perbandingan Persepsi Mahasiswa terhadap AR di Smartphone vs. Laptop

1. Perbedaan Efektivitas antara Smartphone dan Laptop

Ketika ditanya mana yang lebih efektif digunakan untuk pembelajaran berbasis Augmented Reality (AR)—smartphone atau laptop—jawaban mahasiswa ternyata cukup beragam. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas AR sangat tergantung pada konteks penggunaannya, bukan sekadar soal perangkat mana yang lebih canggih.

Dari sisi kemudahan dan kenyamanan, smartphone jelas unggul. Mahasiswa bisa langsung mengakses konten AR kapan saja dan di mana saja. Nggak perlu duduk tegak di depan meja atau membawa tas besar. Cukup buka aplikasi di HP, arahkan kamera, dan konten AR langsung muncul. Smartphone juga terasa lebih natural digunakan untuk aktivitas berbasis kamera karena lebih ringan dan praktis.

Namun, untuk materi yang lebih kompleks, laptop jadi pilihan yang lebih efektif. Mahasiswa merasa bisa menyelami konten AR lebih dalam lewat layar yang besar dan performa tinggi. Selain itu, fitur multitasking di laptop memungkinkan mereka mencatat, diskusi, dan eksplorasi konten sekaligus. Hal ini sulit dilakukan di smartphone yang layarnya terbatas dan sering terganggu notifikasi.

Ada juga faktor psikologis dan kebiasaan belajar. Mahasiswa yang terbiasa belajar sambil mobile, lebih cocok menggunakan smartphone. Tapi bagi mereka yang terbiasa dengan sistem belajar “duduk-meja-laptop”, maka AR via laptop terasa lebih ideal. Mahasiswa juga menilai bahwa untuk tugas presentasi, project kelompok, atau simulasi skala besar, laptop jauh lebih nyaman dan efisien.

Kondisi tertentu juga memengaruhi pilihan perangkat. Misalnya, saat dalam perjalanan atau belajar mandiri di kos, mahasiswa lebih sering pakai smartphone. Tapi saat kerja kelompok, belajar di lab, atau mengerjakan tugas besar, mereka memilih laptop karena mendukung interaksi yang lebih serius dan lengkap.

Kesimpulannya, tidak ada perangkat yang benar-benar lebih unggul secara mutlak. Efektivitas tergantung pada:

  • Jenis konten AR yang digunakan,

  • Kebutuhan akademik mahasiswa,

  • Ketersediaan fasilitas,

  • dan kenyamanan pribadi.

Oleh karena itu, pendekatan terbaik adalah mendesain konten AR yang adaptif dan responsif terhadap dua jenis perangkat ini, sehingga mahasiswa bebas memilih perangkat mana yang paling sesuai untuk mereka gunakan.

3. Studi Kasus Perguruan Tinggi yang Menggunakan Keduanya

Beberapa perguruan tinggi di Indonesia sudah mulai menerapkan pendekatan ganda dengan mengintegrasikan AR ke dalam pembelajaran hybrid melalui smartphone dan laptop sekaligus. Salah satu contohnya adalah Universitas Teknologi Digital Nusantara, yang bekerja sama dengan pengembang lokal untuk menciptakan konten AR berbasis cross-platform.

Dalam studi kasus mereka, mata kuliah desain produk menggunakan smartphone untuk melihat bentuk 3D produk secara instan, sementara saat presentasi atau analisa, mahasiswa menggunakan laptop untuk mengembangkan desain lebih lanjut dan mengakses fitur tambahan seperti pengukuran digital atau simulasi dalam skala besar.

Hasilnya cukup menarik. Dari survei terhadap 150 mahasiswa, ditemukan bahwa:

  • 68% mahasiswa merasa AR di smartphone sangat efektif untuk eksplorasi awal dan belajar mandiri.

  • 77% mahasiswa menyatakan bahwa penggunaan AR di laptop membantu mereka lebih fokus dan produktif dalam tugas kelompok dan penyusunan laporan akhir.

  • 85% mahasiswa menyukai pendekatan kombinasi dua perangkat ini karena fleksibel dan bisa disesuaikan dengan situasi belajar masing-masing.

Temuan ini memperkuat pandangan bahwa strategi integrasi ganda perangkat lebih sesuai untuk kebutuhan belajar mahasiswa saat ini. Pendekatan ini juga memungkinkan pengajar untuk mendesain konten AR yang bisa digunakan di berbagai skenario—dari eksplorasi individu hingga kolaborasi tim.

Dengan menggabungkan kelebihan smartphone dan laptop, perguruan tinggi bisa menciptakan pengalaman belajar berbasis AR yang komprehensif, fleksibel, dan inklusif, menjangkau lebih banyak mahasiswa dengan kebutuhan dan gaya belajar yang berbeda-beda.

Tantangan dalam Implementasi AR pada Pembelajaran Hybrid

1. Kendala Infrastruktur dan Ketersediaan Teknologi

Meskipun teknologi AR menawarkan banyak potensi dalam mendukung pembelajaran hybrid, kenyataannya tidak semua kampus siap secara infrastruktur. Kendala teknis dan ketersediaan perangkat masih menjadi hambatan utama dalam implementasinya. Mulai dari keterbatasan jaringan internet, spesifikasi perangkat yang tidak memadai, hingga keterbatasan laboratorium atau ruang khusus untuk menjalankan simulasi AR.

Beberapa mahasiswa mengeluhkan akses internet yang lambat di lingkungan kampus maupun kos-kosan, yang menyebabkan konten AR sering mengalami lag atau bahkan gagal dimuat. Padahal, banyak aplikasi AR memerlukan koneksi real-time yang stabil untuk bisa berjalan lancar. Tanpa koneksi yang memadai, mahasiswa jadi frustrasi dan malas mencoba lagi.

Lalu, soal perangkat—tidak semua mahasiswa memiliki smartphone atau laptop dengan spesifikasi tinggi. AR membutuhkan kemampuan grafis dan sensor yang baik, yang biasanya hanya tersedia di perangkat mid-high end. Akibatnya, sebagian mahasiswa merasa tertinggal karena tidak bisa mengakses konten dengan maksimal.

Belum lagi soal fasilitas kampus. Tidak semua institusi memiliki laboratorium digital atau fasilitas yang mendukung penggunaan AR secara langsung. Bahkan, beberapa dosen pun belum familiar dengan sistem ini sehingga belum bisa mendampingi mahasiswa secara optimal.

Untuk mengatasi ini, diperlukan kolaborasi antara institusi pendidikan dengan pihak ketiga seperti penyedia teknologi atau developer aplikasi AR. Investasi dalam infrastruktur—baik perangkat keras, software, maupun jaringan—menjadi sangat krusial jika kampus ingin serius mengadopsi teknologi ini.

2. Adaptasi dan Literasi Digital Mahasiswa

Menggunakan AR tidak hanya soal memiliki perangkat dan koneksi internet, tapi juga tentang bagaimana mahasiswa bisa beradaptasi dengan teknologi tersebut. Ternyata, meskipun mahasiswa dianggap generasi digital native, tidak semua dari mereka siap menerima AR sebagai bagian dari proses belajar.

Banyak mahasiswa mengaku belum familiar dengan cara kerja AR, terutama dalam konteks akademik. Beberapa bingung bagaimana memindai marker, menjalankan simulasi, atau bahkan memahami bagaimana konten AR terhubung dengan materi kuliah. Ini menunjukkan bahwa literasi digital masih jadi tantangan besar.

Selain itu, kemampuan kritis untuk menilai kualitas dan relevansi konten AR juga belum merata. Beberapa mahasiswa cenderung hanya terpesona dengan visualisasi tanpa memahami maksud atau tujuan dari materi tersebut. Di sisi lain, ada pula yang justru skeptis terhadap AR karena merasa itu hanya gimmick atau hal yang membingungkan.

Penting banget bagi kampus untuk mengedukasi mahasiswa tentang literasi digital yang lebih dalam, termasuk pemanfaatan AR secara optimal. Hal ini bisa dilakukan melalui workshop, pelatihan, atau sesi pengenalan sebelum kuliah dimulai. Dengan begitu, mahasiswa bisa lebih percaya diri dan siap menerima teknologi ini sebagai alat bantu belajar, bukan sekadar hiburan.

3. Masalah Biaya dan Dukungan Institusional

Masalah lain yang cukup krusial adalah soal biaya. Baik dari sisi mahasiswa maupun institusi, adopsi teknologi seperti AR membutuhkan investasi yang nggak sedikit. Mahasiswa perlu perangkat dengan spesifikasi yang mendukung, sementara kampus butuh infrastruktur, lisensi aplikasi, hingga pelatihan bagi staf dan dosen.

Banyak kampus swasta kecil atau daerah yang belum punya anggaran khusus untuk implementasi teknologi AR. Sementara itu, di sisi mahasiswa, tidak semua bisa mengupgrade perangkat hanya demi mendukung satu mata kuliah. Ini menciptakan kesenjangan akses digital yang bisa berujung pada ketimpangan hasil belajar.

Untuk itu, dukungan institusional sangat dibutuhkan. Kampus bisa mulai dengan pengadaan perangkat bersama, seperti laptop atau tablet AR-ready yang bisa dipinjamkan mahasiswa. Juga penting untuk bekerja sama dengan pihak ketiga dalam penyediaan konten dan pelatihan, sehingga beban biaya tidak hanya ditanggung kampus.

Kampus juga perlu memastikan bahwa teknologi AR yang diterapkan memang sepadan dengan manfaat yang diberikan. Artinya, jangan sampai biaya besar sudah dikeluarkan, tapi penggunaannya tidak maksimal karena tidak diintegrasikan dengan baik ke dalam kurikulum.

Dengan perencanaan yang matang dan dukungan penuh dari institusi, masalah biaya bukan halangan mutlak. Justru bisa menjadi peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui inovasi yang terstruktur dan inklusif.

Strategi Optimalisasi Integrasi AR dalam Pembelajaran Hybrid

1. Pendidikan Literasi AR bagi Mahasiswa dan Dosen

Salah satu strategi paling mendasar namun vital dalam optimalisasi penggunaan AR dalam pembelajaran hybrid adalah pendidikan literasi teknologi, khususnya literasi AR. Kenapa ini penting? Karena secanggih apa pun teknologinya, kalau pengguna—baik dosen maupun mahasiswa—nggak tahu cara makainya dengan efektif, maka manfaatnya bakal minim atau malah tidak terasa sama sekali.

Banyak mahasiswa mengaku belum pernah mendapat pelatihan khusus soal AR. Mereka hanya “coba-coba” dari rasa penasaran, tanpa bimbingan. Akibatnya, mereka nggak paham fitur lengkapnya, bahkan ada yang langsung menyerah saat AR error sedikit. Begitu juga dengan dosen, beberapa bahkan masih mengira AR itu sama seperti video animasi biasa. Hal seperti ini menunjukkan bahwa kesenjangan pemahaman dan keterampilan digital masih cukup besar di lingkungan kampus.

Makanya, kampus perlu mulai menyediakan pelatihan resmi dan terstruktur tentang AR, baik bagi mahasiswa maupun dosen. Bisa dimulai dari sesi pengenalan di awal semester, workshop rutin, hingga pelatihan lanjutan untuk jurusan-jurusan yang sangat potensial menggunakan AR, seperti teknik, kedokteran, arsitektur, atau pendidikan.

Tujuannya bukan hanya agar mahasiswa tahu cara mengakses konten AR, tapi juga paham cara mengintegrasikan pengalaman itu dalam proses belajar mereka sendiri. Untuk dosen, pelatihan AR bisa membantu mereka mendesain metode pengajaran baru yang lebih engaging dan memanfaatkan fitur AR dengan maksimal.

Orientasi awal juga sangat penting. Bayangkan mahasiswa baru langsung “dilempar” ke dalam kuliah dengan konten AR, tanpa pengantar. Mereka pasti bingung dan bisa-bisa menganggap AR sebagai sesuatu yang merepotkan. Maka dari itu, sebelum penerapan AR dilakukan, perlu ada orientasi khusus yang menjelaskan apa itu AR, manfaatnya, dan cara pakainya dalam konteks pembelajaran.

Ketika semua elemen—mahasiswa, dosen, dan sistem kampus—sudah paham dan melek teknologi AR, maka potensi pembelajaran hybrid akan naik level jadi lebih hidup, interaktif, dan menyenangkan.

2. Pengembangan Konten AR yang Relevan dan Menarik

Setelah pemahaman teknis dan literasi sudah dibangun, tahap berikutnya adalah pengembangan konten AR yang berkualitas, relevan, dan menarik. Masalah yang sering terjadi selama ini adalah konten AR yang tersedia terlalu generik, tidak sesuai dengan kurikulum, atau malah hanya menarik di awal tapi nggak punya nilai edukatif yang kuat.

Mahasiswa sering menyampaikan bahwa mereka ingin konten AR yang langsung nyambung dengan materi kuliah, bukan cuma pameran teknologi visual. Misalnya, dalam mata kuliah anatomi, mahasiswa ingin bisa melihat sistem saraf tubuh manusia yang bisa disentuh dan dibedah secara virtual. Dalam arsitektur, mereka ingin memutar model bangunan sambil mengukur elemen strukturnya secara real-time.

Artinya, konten AR harus dirancang berdasarkan kebutuhan nyata mahasiswa di setiap jurusan. Konten itu juga harus bisa dimodifikasi atau dikembangkan sesuai perkembangan materi dari semester ke semester.

Kampus bisa mendorong dosen untuk berkolaborasi dengan pengembang AR profesional atau startup edtech. Daripada semua dibikin sendiri dari nol, lebih baik gandeng mitra yang sudah punya pengalaman teknis, lalu dosen memberikan input kurikulum dan konteks akademiknya. Dengan kolaborasi ini, hasil akhirnya akan jauh lebih optimal—kontennya menarik, tapi juga edukatif.

Selain itu, penting juga memperhatikan aksesibilitas dan desain antarmuka konten. Jangan sampai tampilannya ribet, loading-nya lama, atau berat dijalankan di perangkat mahasiswa. Konten yang bagus bukan cuma visualnya keren, tapi juga ringan, ramah pengguna, dan bisa diakses di berbagai perangkat (smartphone maupun laptop).

Dan yang nggak kalah penting, harus ada evaluasi dan feedback rutin dari mahasiswa. Konten AR itu bukan produk jadi yang langsung sempurna, tapi alat yang terus berkembang. Dengan mendengar masukan dari pengguna langsung, konten bisa terus disesuaikan agar makin relevan dan bermanfaat.

3. Dukungan Teknis dari Kampus

Last but definitely not least, dukungan teknis dari kampus adalah kunci keberhasilan integrasi AR dalam pembelajaran hybrid. Tanpa infrastruktur yang memadai, semua upaya pelatihan dan pengembangan konten bisa mandek di tengah jalan.

Yang pertama harus diperhatikan adalah jaringan internet yang kuat dan stabil. Banyak mahasiswa mengalami kendala teknis saat menjalankan AR, mulai dari lag, loading yang lama, sampai error karena sinyal. Padahal, sebagian besar AR berbasis cloud dan butuh koneksi real-time. Kampus harus memastikan area perkuliahan—terutama ruang kelas dan laboratorium—dilengkapi dengan Wi-Fi berkecepatan tinggi.

Kedua, kampus juga harus menyediakan fasilitas perangkat penunjang seperti laptop, tablet, atau bahkan headset AR untuk keperluan belajar kelompok atau praktikum. Kalau memungkinkan, kampus bisa bikin sistem peminjaman perangkat yang bisa diakses mahasiswa secara bergilir.

Selain itu, penting banget ada tim teknis khusus di bidang AR. Tim ini bertugas membantu mahasiswa dan dosen saat terjadi kendala teknis, melakukan update perangkat lunak, atau bahkan mendampingi proses pengajaran berbasis AR. Tim ini juga bisa menjadi penghubung antara kampus dan pengembang aplikasi untuk urusan teknis dan pengembangan konten.

Beberapa kampus yang sukses mengadopsi AR dalam skala besar adalah yang memiliki divisi teknologi pendidikan yang solid. Mereka bukan hanya mengurus IT biasa, tapi fokus pada pengembangan teknologi pembelajaran. Dan ke depannya, posisi seperti ini akan jadi semakin penting untuk memastikan bahwa teknologi seperti AR benar-benar bisa dimanfaatkan maksimal, bukan sekadar jadi tren sesaat.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Integrasi teknologi Augmented Reality (AR) dalam pembelajaran hybrid jelas bukan sekadar tren. Ia hadir sebagai inovasi nyata yang mampu menjawab berbagai tantangan belajar di era digital. Dengan kemampuannya menyajikan konten interaktif dan visual yang lebih hidup, AR membawa pembelajaran ke level baru yang lebih imersif dan menyenangkan.

Dari berbagai paparan di atas, terlihat jelas bahwa persepsi mahasiswa terhadap penggunaan AR cukup positif—terutama karena mereka merasa terbantu dalam memahami materi yang sulit, lebih termotivasi untuk belajar, dan terlibat lebih aktif selama proses pembelajaran. Namun, persepsi ini juga sangat dipengaruhi oleh perangkat yang digunakan, yaitu smartphone dan laptop.

Smartphone unggul dari segi kemudahan, aksesibilitas, dan fleksibilitas. Mahasiswa bisa belajar kapan saja, di mana saja, tanpa perangkat tambahan. Tapi, untuk materi yang lebih kompleks dan mendalam, laptop dinilai lebih efektif karena dukungan layar besar, performa tinggi, dan kemampuan multitasking.

Dengan kata lain, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan penggunaan idealnya adalah kombinasi dari keduanya, tergantung konteks dan kebutuhan pembelajaran. Mahasiswa cenderung memilih smartphone untuk eksplorasi cepat dan pembelajaran individual, sementara laptop lebih disukai untuk analisis, tugas kelompok, dan presentasi.

Saran untuk Institusi Pendidikan

Agar implementasi AR dalam pembelajaran hybrid berjalan maksimal dan sesuai kebutuhan mahasiswa, berikut beberapa langkah strategis yang bisa diterapkan oleh institusi pendidikan:

  1. Sediakan Pelatihan Literasi Digital Terstruktur
    Kampus harus rutin menyelenggarakan workshop atau orientasi teknologi untuk mahasiswa dan dosen agar semua pihak memahami cara kerja AR dan manfaatnya dalam pembelajaran.

  2. Kembangkan Konten AR yang Relevan dengan Kurikulum
    Kolaborasi antara dosen dan pengembang konten sangat diperlukan agar materi AR tidak hanya visual menarik, tapi juga memiliki nilai edukatif yang tinggi dan sesuai dengan silabus.

  3. Perkuat Infrastruktur dan Fasilitas Digital
    Mulai dari koneksi internet cepat, laboratorium digital, hingga penyediaan perangkat pinjam—semua harus disiapkan agar mahasiswa bisa mengakses AR secara merata.

  4. Buat Sistem Evaluasi dan Feedback Pengguna
    Mahasiswa sebagai pengguna utama perlu diberi ruang untuk memberikan masukan terkait konten dan penggunaan AR agar sistem terus berkembang dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata di lapangan.

  5. Integrasi AR dalam LMS Kampus
    Untuk memastikan pembelajaran AR berjalan sistematis, kampus bisa mulai memasukkan konten AR ke dalam platform Learning Management System (LMS) mereka, sehingga semua materi bisa diakses dalam satu ekosistem digital yang rapi dan terorganisir.

Kalau kamu tertarik dengan penerapan teknologi canggih seperti Augmented Reality (AR) dalam dunia pendidikan, Universitas Sutasoma Enrekang (UNSEK) bisa jadi pilihan yang patut dilirik. Melalui situs resminya unsek.ac.id, kamu bisa menemukan berbagai informasi menarik seputar inovasi pembelajaran hybrid berbasis digital yang mereka kembangkan. UNSEK aktif mendukung integrasi teknologi seperti AR di lingkungan kampus, baik untuk mahasiswa maupun dosen, agar proses belajar lebih interaktif, relevan, dan siap menghadapi era industri 5.0. Yuk, cek langsung dan jelajahi program unggulannya!

Dengan pendekatan yang menyeluruh—dari sisi teknis, konten, hingga manajemen—AR bukan hanya akan memperkaya pengalaman belajar mahasiswa, tapi juga meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia secara keseluruhan.

FAQ (Frequently Asked Questions)

1. Apakah Augmented Reality benar-benar efektif untuk semua jenis mata kuliah?

Tidak semua, tapi untuk mata kuliah yang bersifat visual, teknis, atau eksperimental seperti anatomi, teknik, arsitektur, dan sejarah, AR sangat efektif dalam menyampaikan materi yang kompleks.

2. Apa kendala terbesar mahasiswa dalam menggunakan AR?

Umumnya kendala terbesar ada di sisi perangkat (spesifikasi smartphone/laptop), koneksi internet, dan kurangnya pemahaman teknis awal mengenai cara menggunakan AR.

3. Apakah mahasiswa lebih suka belajar AR lewat smartphone atau laptop?

Keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Smartphone lebih praktis dan fleksibel, sedangkan laptop lebih cocok untuk konten yang kompleks dan membutuhkan eksplorasi lebih mendalam.

4. Bagaimana kampus bisa mulai menerapkan AR secara bertahap?

Mulailah dengan mata kuliah yang cocok untuk AR, sediakan konten uji coba, berikan pelatihan teknis dasar, lalu integrasikan AR ke dalam LMS kampus sebagai bagian dari pembelajaran hybrid.

5. Apakah biaya jadi penghalang utama implementasi AR di kampus?

Biaya memang jadi tantangan, tapi bisa disiasati lewat kerja sama dengan pengembang lokal, hibah teknologi, atau subsidi perangkat dari kampus untuk mahasiswa yang membutuhkan.